Ketika dunia politik gunjang-ganjing akibat keluarnya putusan MA yang membatalkan keputusan KPU dalam penentuan perhitungan kursi tahap kedua, kini dunia hukum kembali akan menjadi sorotan masyarakat beberapa hari ke depan, pasalnya adalah dibatalkannya keputusan yang membebas Prita Mulia Sari lewat keputusan sela Pengadilan Negeri Tangerang oleh Pengadilan Tinggi Banten tanggal 25 Juni lalu, alasan pembatalan adalah karena adanya perbedaan tafsir terhadap masa berlakunya Undang Undang ITE (Informasi Transaksi Elektronik).
Sebelumnya, melalui putusan selanya, pengadilan Negeri Tangerang telah membebaskan Prita Muliasari dengan pertimbangan bahwa UU ITE yang menjadi dasar penuntutan terhadap Prita belum berlaku secara efektif karena harus menunggu dua tahun sejak UU tersebut disahkan, namun dalam putusannya Pengadilan Tinggi Banten menyatakan bahwa UU ITE tersbut sudah berlaku sejak disahkan. Akibat adanya pembatalan maka tuntuan jaksa sebelumnya dianggap berlaku kembali.
Bagi Prita sendiri, yang baru saja sebulan menghirup udara bebas setelah sempat menginap di tahanan kepolisian, kini harus berhadapan kembali dengan persidangan, adanya pembatalan tersebut harus siap-siap menghadapi persidangan yang pasti akan sangat melelahkan, dan akan banyak waktu tersita.
Bagi saya sebagai orang yang awam dalam bidang hukum, terlepas dari siapa yang salah dan siapa yang benar, kedua kasus di atas menambah daftar panjang yang menunjukan bahwa belum adanya kepastian hukum di Indonesia. Dengan adanya penafsiran yang berbeda terhadap undang-undang diantara lembaga penegak hukum setingkat atau dengan lembaga di atasnya, menunjukkan masih rendahnya kualitas penegak hukum kita.
Proses pembuatan undang-undang juga dapat menjadi penyebab lemahnya penegakan hukum di negara kita. Diduga sebagaian besar undang-undang disusun dan di buat hanya untuk target jumlah saja, dengan mengabaikan kualitas. Sehingga produk yang dihasilkan wajar saja kalau akhirnya bisa menimbulkan penafsiran yang berbeda. Sebagai contoh misalnya banyak keputusan KPU yang kemudian dibatalkan, baik oleh Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi.
Dalam kasus Prita ini saya berharap, pengadilan dapat menjalankan proses hukum yang seadil-adilnya, karena di samping mempertimbangan sisi kemanusian bagi Prita, juga keputusan yang dihasilkan akan menjadi preseden di masa yang akan datang, mengingat belum lamanya undang-undang ini disahkan.
Jadi apakah malapetaka ini sudah bereakhir ? Belum, malapetaka memang belum berakhir.
Showing posts with label Legal. Show all posts
Showing posts with label Legal. Show all posts
Thursday, July 30, 2009
Wednesday, June 24, 2009
Malapetaka itu tidak terjadi
Hari ini, Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Tangerang telah memutus bebas Prita Mulyasari, tersangka kasus pencemaran nama baik RS. Omni International Tangerang. Putusan bebas tersebut dibacakan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Karel Tofu pada putusan sela yang dibacakan siang ini. Putusan tersebut langsung disambut dengan perasaan haru oleh tersangka dengan mengucap takbir, yang kontan diamini oleh para pengunjung yang selalu setia mendampingi dan mensupport Prita sejak sidang pertamanya. Tampak diantara para pengunjung tersebut beberapa blogger dan facebooker.
Seperti telah diketahui, Prita Mulyasari diadukan RS. Omni Tangerang bersama dua orang dokternya atas tuduhan pencemaran nama baik, karena dianggap telah menyebarkan fitnah melalui media surat elektronik (email). Prita Mulyasari dikenakan pasal-pasal pada Undang-undang No. 11 tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya pada Pasal 27 ayat 3.
Pada awal penyusunan Undang-undang ini, memang telah menarik perhatian dari para Netter, karena akan mengancam kebebasan untuk menyatakan pendapat bunyi dari Pasal 27 ayat(3) tersebut adalah sebagai berikut :
"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Pernyataan "yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik" , sangat multi interprestasi, pasal ini biasanya dikenal dengan pasal karet.
Para Netter dan Blogger (waktu itu facebook belum begitu memasyarakat) menganggap bahwa pencantuman pasal ini merupakan suatu pemasungan atas kebebasan untuk menyatakan pendapat, oleh karena itu sebelum undang-undang ini disahkan para Netter telah berjuang agar pasal ini dicabut, namun sampai rancangan undang-undang disahkan menjadi undang-undang, ternyata perjuangan para netter tersebut tidak berhasil, dan menganggap bahwa pencantuman pasal tersebut merupakan suatu malapetaka di dunia teknologi informasi.
Sekarang Ibu Prita sudah bebas dan bisa berkumpul kembali dengan keluarganya, namun apakah malapetaka bagi para Netter sudah berlalu ? Tentu saja tidak, karena dalam keputusannya, Majelis Hakim menganggap bahwa penerapan Undang-undang ITE pada kasus Prita ini adalah karena jaksa telah menerapkan Undang-undang yang belum berlaku secara effektif, menurut Majelis Hakim, Undang-undang baru akan effektif apabila UU tersebut telah berumur dua tahun sejak diputuskannya. Jadi kapan malapetaka itu akan tiba ? yah karena UU ini diundangkan pada tanggal 21 April 2008, jadi masih ada waktu kurang dari setahun lagi. Jadi judul yang tepat untuk tulisan ini adalah bukan "Malapetaka itu tidak terjadi", tapi "Malapetaka itu belum terjadi".
Seperti telah diketahui, Prita Mulyasari diadukan RS. Omni Tangerang bersama dua orang dokternya atas tuduhan pencemaran nama baik, karena dianggap telah menyebarkan fitnah melalui media surat elektronik (email). Prita Mulyasari dikenakan pasal-pasal pada Undang-undang No. 11 tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya pada Pasal 27 ayat 3.
Pada awal penyusunan Undang-undang ini, memang telah menarik perhatian dari para Netter, karena akan mengancam kebebasan untuk menyatakan pendapat bunyi dari Pasal 27 ayat(3) tersebut adalah sebagai berikut :
"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Pernyataan "yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik" , sangat multi interprestasi, pasal ini biasanya dikenal dengan pasal karet.
Para Netter dan Blogger (waktu itu facebook belum begitu memasyarakat) menganggap bahwa pencantuman pasal ini merupakan suatu pemasungan atas kebebasan untuk menyatakan pendapat, oleh karena itu sebelum undang-undang ini disahkan para Netter telah berjuang agar pasal ini dicabut, namun sampai rancangan undang-undang disahkan menjadi undang-undang, ternyata perjuangan para netter tersebut tidak berhasil, dan menganggap bahwa pencantuman pasal tersebut merupakan suatu malapetaka di dunia teknologi informasi.
Sekarang Ibu Prita sudah bebas dan bisa berkumpul kembali dengan keluarganya, namun apakah malapetaka bagi para Netter sudah berlalu ? Tentu saja tidak, karena dalam keputusannya, Majelis Hakim menganggap bahwa penerapan Undang-undang ITE pada kasus Prita ini adalah karena jaksa telah menerapkan Undang-undang yang belum berlaku secara effektif, menurut Majelis Hakim, Undang-undang baru akan effektif apabila UU tersebut telah berumur dua tahun sejak diputuskannya. Jadi kapan malapetaka itu akan tiba ? yah karena UU ini diundangkan pada tanggal 21 April 2008, jadi masih ada waktu kurang dari setahun lagi. Jadi judul yang tepat untuk tulisan ini adalah bukan "Malapetaka itu tidak terjadi", tapi "Malapetaka itu belum terjadi".
Subscribe to:
Posts (Atom)